Friday, January 11, 2013

tugas 108-desentralisasi



desentralisasi administratif
Pendahuluan
Penerapan UU nomer 22 tahun 1999 dan UU nomer 25 tahun 1999 merupakan langkah maju dalam sistem pemerintahan di Indonesia, khususnya dalam demokratisasi hubungan pusat dan daerah. Meskipun sebenarnya hubungan desentralisasi dengan option yang luas bukanlah kali pertama dalam sejarah pertumbuhan pemerintahan di Indonesia sejak merdeka, namun nuansa desentralisasi yang luas berdasar kedua UU tersebut di atas boleh dikatan sangat bermakna, hal ini terjadi akibat tekanan sentralisasi yang sangat kuat dan dominan di era orde baru sebelumnya.
Dari kesejarahan sebenarnya sistem pemerintahan daerah di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan beberapa kali tergantung dengan situasi politik yang terus berkembang. Di awal kemerdekaan, dengan penerapan UU nomer 1 tahun 1945 sebenarnya sistem pemerintahan daerah di Indonesia telah menganut otonomi daerah yang seluas-luasnya, hal ini terjadi akibat otoritas pemerintahan pusat yang memang masih terbatas di samping untuk kepentingan politik dalam rangka kesatuan dan persatuan bangsa.
Perkembangan selanjutnya adalah diterapkannya UU nomer 22 tahun 1948 yang juga tetap menekankan hubungan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah di seluruh wilayah Indonesia. Pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya ini terus bertahan hingga diterapkannya UU pengganti yakni UU nomer 1 tahun 1957. Baru pada penerapan UU nomer 18 tahun 1965 kekuasaan pemerintah daerah mulai dibatasi, namun semangat otonomi masih tetap menonjol.
Baru pada pemerintahan orde baru, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya memang sengaja ditekan untuk diganti dengan hubungan yang lebih tersentralisasi Penerapan UU nomer 5 tahun 1974 option otonomi telah berganti menjadi otonomi nyata yang bertanggung jawab. Kondisi ini sangat memberi peluang kepada pemerintah pusat untuk lebih menguasai, sehingga di era orde baru sistem pemerintahan Indonesia memang lebih bersifat sentralistis di bandingkan dengan desentralisasi sebagaimana yang menjadi semangat UU Nomer 5 tahun 1974.
Reformasi politik di Indonesia membawa dampak serta terjadinya reformasi sistem administrasi pemerintahan di Indonesia. Dari sistem sentralistik yang “menguasai” berubah menjadi sistem manajemen publik yang “melayani”. Perubahan ini mau tidak mau harus dilakukan karena pemerintah khususnya di daerah memang memiliki hubungan yang semakin dekat dengan masyarakatnya. Kondisi inilah yang menyebabkan administrasi pemerintahan di daerah harus menampilkan diri secara  lebih exelent yang ditandai dengan kriteria sebagai berikut :
1)            Action orientation;
2)            Clossenes to citizen;
3)            Authonomy and entrepreunership;
4)            Employee Orientation;
5)            Value
6)            Mission, Goal and Competition;
7)            Structure, and;
8)            Political relationship.
Kriteria-kriteria inilah yang akan dicapai oleh sistem pemerintahan daerah di Indonesia sehingga akan mencapai tujuan dengan dilaksanakannya desentralisasi secara administratif akan membuat pelayanan publik menjadi jauh lebih baik dan terjangkau oleh masyarakat. Berikut dalam makalah ini akan disampaikan perspektif teoretik tentang perubahan administrasi publik dalam sistem pemerintahan yang sedang berubah sehingga akan menemukan bentuknya secara lebih baik dan optimal.
Perubahan Pemikiran tentang Desentralisasi Pemerintahan
Kesadaran tentang perlunya memahami pemikiran yang menonjol tentang bagaimana merubah pemerintahan dan kemudian menilai dampak (menguntungkan atau tidak menguntungkan) dari pemikiran-pemikiran Desentralisasi tersebut  diterjemahkan ke dalam praktek menjadi dasar pada sub bab ini. Tetapi tidak mudah untuk memelihara keutuhan konsep dan analisis dalam kajian ini, sebagian karena model konseptual reformasi pemerintahan sendiri secara konstan di dalam perubahan yang terus menerus dan sebagian karena model-model diterapkan  di berbagai kondisi system politik dan pemerintahan yang meluas. Oleh karena itu ada gunanya membentuk kerangka kerja bagi kontribusi-kontribusi yang mengikuti guna melukiskan lebih jauh tentang masalah-masalah definisi dan konsepsi yang sekarang muncul di bidang-bidang desentralisasi administrasi publik.
Pendekatan-pendekatan literatur di masa lalu terhadap Desentralisasi administrasi  publik dan studi-studi manajemen mencakup konsepsi pemerintahan yang luas. Akibatnya, terjadi ekspansi campur tangan negara ke seluruh bidang kegiatan politik dan ekonomi yang menjadi perhatian dan kepentingan dari banyak displin dan sub disiplin ilmu. Di bidang administrasi publik, para spesialis  administarsi publik telah menjadi sekedar salah satu dari serpihan para analisis. Seiring dengan situasi tersebut, siapapun  yang ingin mendapatkan pemahaman yang tepat tentang desentralisasi pemerintahan dan campur-tangannya harus mempersiapkan diri untuk menguasai  literatur yang beraneka ragam dan melebar.
Faktor yang kedua untuk menjelaskan luasnya studi desentralisasi dan isu – isu politik  berakar dari praktek reformasi. Selama dua dasa warsa yang lalu kita telah menyaksikan pendewaan pemikiran sentralistis dan penterjemahannya ke dalam praktek politik  keseluruh penjuru reformasi yang menyentuh atau melibatkan langsung sektor publik. Reformasi ekonomi telah memfokuskan pada liberalisasi kinerja pasar dari distorsi akibat campur tangan pemerintah, reformasi di sektor administrasi publik secara logis mengikuti alur pikiran yang sama, yang mengaburkan perbedaan  antara ‘publik’ dan ‘privat’ dan berusaha mengurangi ukuran dan kegiatan negara sambil memperkenalkan disiplin di sekitar privat ke dalam sektor publik.
Perkembangan yang berkaitan dengan pemunculan pemikiran-pemikiran desentralisasi administratif  berdasarkan konsep politik atas reformasi yang tepat. Berawal dari “jatuhnya sentralisasi” yang tiba-tiba di mendiang orde baru di Indonesia, pemikiran ini mengambil bentuk dan substansi dari kebijakan-kebijakan baru tentang ketergantungan politik yang dipraktekkan oleh badan donor bilateral maupun multilateral dalam hubungan bantuan mereka terhadap ekonomi yang sedang berkembang dan berubah. Logika perluasan dan strategi yang lebih dulu terhadap ketergantungan ekonomi dikaitkan dengan reformasi penyesuaian struktural, pendekatan baru ini membingungkan secara konsepsi dan diterapkan secara inkonsisten (Stokke, 1995).
Dibandingkan dengan pendekatan konvensional dalam melihat proses-proses desentralisasi administrasi pemerintahan seperti ‘apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah di daerah’ (Minoque, 1993; coaldrake & Nethercote, 1990) dan pendekatan yang lebih ortodoks dari Weber, lebih melihat pemerintahan di daerah dalam konteks system administrasi, pendekatan public policy dan prespektif manajemen publik lebih diperluas analisisnya. Perspektif public policy menekankan pada proses kebijakan ketimbang lembaga-lembaga formalnya, Pendekatan ini menekankan kepada :
a.       Konteks politik di mana administrasi publik berjalan;
b.      Jaringan kerja personnel dan organisasi yang terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan;
c.       Sukses, kegagalan, dan keinginan kebijakan actual menghubungkan mekanisme implementasi dan hasil;
d.      Konsep pokok tentang ‘negara’ mendasar dalam pemahaman tentang hubungan antara sistem administarsi dan politik dan antar politik, ekonomi, dan masyarakat.
Perspektif desentralisasi manajemen publik dibentuk oleh prinsip politik yang telah memilih untuk secara kritis mempertanyakan ukuran, peranan dan struktur sektor-sektor publik dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pemerintahan di banyak negara maju dan berkembang mengkaji ulang peranan pegawai negeri, otoritas local dan perusahaan negara. Banyak fungsi yang semula dilakukan oleh pemerintah pusat sedang dserahkan kepada pemerintah daerah, perusahaan negara yang masih dipertahankan harus dapat menciptakan keuntungan. Otoritas-otoritas local sedang didesak untuk melakukan tender proyek secara kompetitif dengan pesaing-pesaing swasta.
Berkenaan dengan perubahan-perubahan yang dramatis itu, isu-isu tentang nilai, kepercayaan, dan norma-norma kelembagaan dan isu-isu tentang sikap individu, mengarah para fokus tentang budaya organisasi dan bagaimana ini dapat dirubah oleh pembuat kebijakan dan manajer-manajer puncak (UNDP, 1995, Commonwealth Secretariat, 1993). Secara keseluruhan, label “ desentralisasi administrasi  publik” dikenal sebagai menangkap secara akurat seluruh segi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia.
Disamping orientasi ‘privatisasi’ terhadap reformasi terkini di pemerintahan, dimaklumi bahwa masih terdapat peranan penting pemerintah di daerah  dalam mengelola respon yang efektif dengan kebutuhan- kebutuhan sosio ekonomi dari penduduknya, dengan kata lain, terjadi desentralisasi di bidang administrasi pembangunan (World Bank,  1997).
Desentralisasi Administratif
Untuk proyeksi ke depan, dalam rangka memantapkan demokratisasi di Indonesia, maka desentralisasi administratif ini harus terus diperkuat dan dan dilakukan enforcemen bagi pemerintah di daerah agar lebih sesuai dengan harapan besar otonomi daerah, di mana pemerintah daerah harus mampu mengelola dan mengembangkan daerahnya sendiri jauh lebih baik dibandingkan dengan ketika masih di bawah kekuasaan pemerintah pusat secara sentralistis.
Untuk itu harus ditingkatkan “performance” dari pemerintah daerah khususnya di bidang administrasi publiknya yang concernnya memang terletak pada public service.
Kenyataan bahwa terjadi hambatan besar dalam masalah peningkatan pelayanan publik yang tidak bisa se professional pelayanan sector privat menjadi tantangan serius dari makna diterapkannya desentralisasi administrasi publik ini di Indonesia. Domain Privat sangat jelas bahwa dalam dunia bisnis kalau tidak untung pasti akan bangkrut, untuk bisa untuk harus efisien dan mampu menarik simpati costumer dengan berbagai kualitas pelayanan yang diberikan, sehingga budaya “putting the costumer first” menjadi etos kerja dalan kinerja organisasi  secara keseluruhan.
Hal ini sangat berbeda dalam organisasi publik yang hubungan antara negara dengan citizen lebih bersifat mengikat dan “tidak ada pilihan bagi citizen” maka pelayanan yang diberikan seperti apapun efektivitasnya tetap saja harus diterima dan tidak memungkinkan citizen dengan mudah berpindah ke organisasi publik lainnnya.
Kenyataan ini sebenarnya berlaku di hampir seluruh negara-negara baik maju maupun berkembang. Hanya di negara maju telah ada kesadaran untuk memperbaiki efektivitas kinerja organisasi publik supaya tidak terlalu tertinggal dengan organisasi privat dengan melakukan benchmarking, mengadopsi dan mengadaptasi praktek-praktek yang dianggap baik di organisasi swasta ke dalam organisasi publik.
Amerika Serikat misalnya, dengan penuh kesadaran mencoba melakukan berbagai upaya benchmarking tersebut sehingga budaya organnisasi publik secara keseluruhan berubah secara perlahan menuju profesionalisme. Al Gore dengan slogan “putting the costumer first” menunjukkan terjadinya perubahan paradigma yang luar biasa dalam pelayanan publik oleh organisasi publik di Amerika.
Di Indonesia, Reformasi perundangan dengan UU No 22 tahun 1999 dan UU Nomer 25 tahun 1999 sebenarnya secara eksplisit berupaya mewujudkan perubahan paradigma organisasi publik khususnya di bidang pelayanan publik kalau dulu birokrasi lebih bergaya “pangreh praja” namun tuntutan sekarang mengharapkan birokrasi lebih berwajah “pamong praja” bukan sekedar slogan melainkan akan direalisasikan secara nyata dalam kehidupan bernegara.
Permasalahannya masih banyak kendala yang menghambat semangat reformasi dalam administrasi  publik di Indonesia, berbagai hal seperti budaya paternalisme yang masih kuat, fatsoen politik yang belum terlalu kuat, politik penggajian yang masih rendah dan sebagainya menjadi penghambat perubahan budaya dalam birokrasi kita.
Perubahan budaya organisasi memang tidak bisa berlangsung dengan cepat, diperlukan waktu yang lama dalam sosialisasi dan trial and error terhadap upaya mengarahkan pembentukan budaya baru. Kondisi perubahan seperti ini memang pada akhirnya menjadi sebuah kenyataan yang berdampak pada ketidak pastian dan ketidak jelasan tentang prosedur-prosedur maupun norma lain yang lebih substanstif dalam masa transisi. Oleh karena itu, sepanjang ada komitmen kuat untuk menuju reformasi yang konsisten maka termasuk di dalamnya budaya organisasi diharapkan dapat berubah secara lebih efisien sesuai dengan tuntutan reformasi tersebut.

1 comment:

  1. ulasannya bagus mas...tapi sayng kok ndak ada daftar pustaka nya..

    ReplyDelete