desentralisasi
pembangunan
Alam hingga saat ini menjadi sumber
pemenuh kebutuhan manusia. Implikasinya, manusia memiliki hubungan keterkaitan
dengan alam. Manusia dengan pertumbuhan yang pesat tentu berdampak pada
interaksinya dengan alam. Hal ini berdampak pada kondisi alam dan kehidupan
manusia dalam membangun peradabannya. Kebutuhan manusia terus-menerus
meningkat, sementara karakteristik alam yang serba terbatas menjadi
permasalahan klasik sejak peradaban manusia dahulu hingga sekarang.
Otonomi daerah dan desentralisasi
hingga sekarang menjadi perbincangan yang tidak pernah hilang relevansinya
dengan pembangunan. Kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah sejak
kemerdekaan hingga era reformasi terus mengalami perubahan dan berdampak pada
semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan. Salah satu segi dari desentralisasi
tersebut adalah pembangunan daerah. Sementara itu, pembangunan dilaksanakan
dengan kurang memperhatikan karakteristik lingkungan dan ekologi yang berdampak
pada terancamnya kelangsungan pembangunan, sekaligus kelangsungan hidup umat
manusia itu sendiri. Untuk sekarang, kita dapat menikmati sebagian besar sumber
daya alam, tetapi untuk masa depan kita dan generasi selanjutnya menjadi
pertanyaan.
Sementara itu, Islam sebagai ajaran
yang universal dan menyeluruh memiliki prinsip-prinsip etika lingkungan yang
tentunya perlu dikaji dan diterapkan untuk menanggulangi masalah akibat
pembangunan daerah. Diharapkan dengan penerapan etika lingkungan tersebut dapat
mengurangi dampak negatif akibat pembangunan daerah. Oleh karena itu, saya
mengkaji permasalahan di atas dan membuat makalah “Desentralisasi Pembangunan
dan Dampaknya terhadap Kelestarian Lingkungan”. Kata ekologi dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 286) adalah
“Ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam
sekitarnya (lingkungannya)”. Ekologi berasal dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan logos
yang berarti ilmu. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Ernest Haeckel
pada tahun 1869. Ilmu ini masih relatif baru karena baru muncul pada tahun
1970-an. Ekologi hingga tahun 1970-an dianggap sebagai cabang biologi yang
memiliki pengaruh terhadap cabang biologi yang lainnya (Syamsuri et al.,
2004: 93; Pratomo & Barlia, 2006: 13).
Sebenarnya, sejak dahulu sudah
muncul konsep-konsep ekologi dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Aristoteles,
Hipokrates, dan lainnya. Pada awal tahun 1700, Anton van Leeuwenhoek menemukan
gejala rantai makanan sebagai faktor yang mempengaruhi populasi dan strategi
hidup yang menjadi fenomena penting dalam ekologi. Saat itu istilah ekologi
belum dikenal, hingga Ernest Haeckel mengemukakan istilah tersebut. Ekologi
dinyatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri keluar dari biologi sejak 1970-an
karena kajiannya yang interdisipliner, meskipun ekologi memang berhubungan erat
dengan biologi (Pratomo & Barlia, 2006: 13). Namun, kajiannya kini lebih
luas ke berbagai proses hayati dan fisik yang tidak hanya berhubungan dengan
biologi, tetapi juga fisika, geografi, kimia, dan lain-lain.
Dalam Moh. Soerjani et al.
(Eds) (2008: 2) dijelaskan bahwa:
Pada dasarnya ekologi adalah ilmu
dasar untuk mempertanyakan, menyelidiki, dan memahami bagaimana alam bekerja;
bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam sistem kehidupannya; apa yang mereka
perlukan dari habitatnya untuk dapat melangsungkan kehidupan; bagaimana mereka
mencukupi kebutuhannya; bagaimana dengan semua itu mereka berinteraksi dengan
komponen lain dan dengan spesies lain; bagaimana individu-individu dalam
spesies itu beradaptasi; bagaimana makhluk hidup itu menghadapi keterbatasan
dan harus toleran terhadap berbagai perubahan; bagaimana individu-individu
dalam spesies itu mengalami pertumbuhan sebagai bagian dari suatu proses yang
mengikuti tatanan, prinsip, dan ketentuan alam yang rumit, tetapi cukup
teratur…
Ekologi mempelajari tentang: a)
perpindahan materi dan energi dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup yang
lain; b) perubahan populasi spesies; c) interaksi antarspesies dan makhluk
hidup dengan lingkungan. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungan tidak
terbatas pada satu arah, melainkan lebih bersifat hubungan timbal-balik.
Kaitannya dengan perpindahan materi
dan energi, dibahas dalam ekologi tentang rantai makanan. Hal ini bisa dipahami
dengan rantai makanan yang secara klasik pernah disampaikan di sekolah dasar,
misalnya matahari memberikan energi pada tumbuhan hijau, kemudian tumbuhan
dimakan kelinci, kelinci dimakan ular, ular dimakan elang, lalu elang mati dan
jasadnya diuraikan oleh bakteri untuk menjadi energi bagi tumbuhan. Namun,
dalam aliran energi ini terjadi pemborosan karena hanya 10% energi yang dapat
diperoleh pada makhluk hidup dari makhluk hidup lain. Sisanya dipancarkan
kembali ke lingkungan dalam bentuk panas dan tidak digunakan lagi (Syamsuri et
al., 2004: 129). Rantai makanan ini kemudian berkembang dan saling
berinteraksi dengan rantai makanan lain menjadi jaring-jaring makanan, karena
jika digambarkan akan membentuk suatu bentuk jaringan (Syamsuri et al.,
2004: 130).
Lingkungan adalah “…segala apa saja
(benda, kondisi, situasi) yang ada di sekeliling makhluk hidup, yang
berpengaruh terhadap kehidupan makhluk hidup yang bersangkutan…” (Sumaatmadja,
2003: 80). Lingkungan memiliki komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik
terdiri atas tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroorganisme. Komponen abiotik
terdiri atas air, udara (oksigen, nitrogen, karbondioksida, dan lain-lain),
kelembaban, tanah, mineral, cahaya, suhu, salinitas, dan topografi. Kedua
komponen ini mengalami interaksi. Interaksi yang terjadi antar-individu sejenis
disebut populasi. Interaksi antar-populasi membentuk komunitas. Interaksi
komunitas dengan lingkungan abiotik memunculkan suatu sistem yang disebut ekosistem.
Interaksi tersebut dapat berbentuk: a) simbiosis mutualisme, hubungan saling
menguntungkan; b) simbiosis parasitisme, merugikan salah satu pihak; c)
simbiosis komensalisme, menguntungkan satu pihak dan tidak berpengaruh pada
pihak lain; d) predatorisme, hubungan saling memangsa; e) netralisme, hubungan
yang tidak saling mempengaruhi; f) kompetisi, perebutan suatu sumber makanan
oleh berbagai organisme. Ekosistem-ekosistem berinteraksi menjadi satu kesatuan
yang disebut biosfer atau ekosfer (Syamsuri et al., 2004:
93-107).
- 2. Daya Dukung Alam, Homeostatis, dan Kelentingan
Wisnu Arya Wardhana (2004: 5)
mengemukakan: “Daya dukung alam diartikan sebagai kemampuan alam untuk
mendukung kehidupan manusia”. Daya dukung alam meliputi segala kekayaan alam,
baik di permukaan maupun dalam perut bumi serta kondisi yang mendukung kehidupan.
Namun, daya dukung alam pun dapat dipahami sebagai kemampuan alam untuk
mendukung organisme lain. Misalnya, dahulu daya dukung alam cocok untuk
reptil-reptil raksasa seperti dinosaurus, tetapi daya dukung alam tersebut
memudar sehingga kelangsungan hidup dinosaurus pun berakhir. Oleh karena itu,
daya dukung alam pun penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Daya dukung alam muncul sebagai
salah satu faktor penentu kelangsungan hidup organisme dalam interaksinya
dengan lingkungan. Misalnya lingkungan dengan kekayaan alam yang melimpah
mendukung manusia untuk mengembangkan kelangsungan hidup dan kesejahteraannya,
berbeda dengan lingkungan dengan sumber daya alam yang terbatas yang
mengharuskan manusia untuk berusaha lebih keras untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Berbeda dengan makhluk hidup lain,
manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan daya dukung alam untuknya sendiri.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan manusia menguasai teknologi. Teknologi ini
yang merekayasa daya dukung alam agar sesuai dengan keinginan manusia, sehingga
nampak dominasi manusia terhadap lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh
Nursid Sumaatmadja (2005: 93) bahwa: “…umat manusia ini dapat dikatakan paling
dominan terhadap lingkungannya bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain”.
Namun, tidak serta merta manusia dapat mengatur lingkungan sesuai dengan semua
kehendak manusia. Alam dengan segala keterbatasan dan teknologi yang juga
terbatas suatu saat akan mencapai batas daya dukung yang maksimum. Seperti yang
dikemukakan dalam Moh. Soerjani et al. (Eds) (2008: 9) bahwa:
Memang benar bahwa dengan
menggunakan teknologi dalam proses industrialisasi baik industri primer
(pertambangan dan pertanian), industri sekunder (manufaktur dan konstruksi)
serta industri tersier (jasa dan komunikasi) daya dukung dapat dinaikkan.
Tetapi perlu diingat bahwa dengan teknologi yang canggih seperti apapun, daya
dukung itu pada suatu tingkat akan mencapai batas maksimum.
Aktivitas manusia jelas mempengaruhi
kelestarian lingkungan, dampaknya bisa positif maupun negatif. Komponen
lingkungan memiliki kemampuan untuk mengatur dan memulihkan dirinya kembali
apabila terjadi gangguan. Setiap komponen akan bergerak untuk menuju
keseimbangan. Proses ini disebut homeostatis.
Homeostatis adalah salah satu
prinsip hukum alam yang berlangsung di berbagai komponen dalam sistem interaksi
makhluk hidup dengan lingkungan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu homeo atas homo yang berarti sama dan statis
yang berarti kedudukan (Wardhana, 2004: 24). Komponen yang berinteraksi
tersebut ada yang menyesuaikan diri, bekerja sama, saling serang, melindungi
diri, berdiam diri, dan ada yang berusaha menguasai yang lain. Tetapi,
kekuatan-kekuatan komponen itu bergerak menuju suatu kondisi yang selaras.
Kondisi ini dikatakan sebagai usaha alam untuk mencapai keseimbangan.
Homeostatis secara alami dapat
dicapai dengan sendirinya, tetapi memakan waktu yang lama. Manusia dengan
kemampuannya mendominasi lingkungan dapat mempercepat atau memperlambat proses
homeostatis ini.
Kelentingan (resilience)
adalah suatu sistem yang akan memberikan tanggapan/reaksi terhadap suatu
gangguan, disengaja maupun tidak. Kelentingan atau kelenturan lebih bersifat
adaptif daripada melawan perubahan (Soerjani et al. (Eds), 2008: 245).
- B. Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia
adalah spesies makhluk hidup termuda yang hidup di bumi. Dalam statusnya
sebagai makhluk hidup, manusia tidak dapat menghindar dari interaksi dengan
lingkungan sebagai salah satu bentuk usaha manusia memenuhi kebutuhannya. Namun
berbeda dengan makhluk hidup lainnya, manusia memiliki keunggulan berupa akal
pikiran dan teknologi yang berkembang dan dapat dikembangkan. Dominasi manusia
terhadap lingkungan pun terjadi karena faktor-faktor tersebut. Meskipun
demikian, manusia tidak dapat menyatakan diri sebagai penguasa alam, karena
manusia itu sendiri bagian dari alam.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pun
menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan lingkungan. Lingkungan adalah hal
di luar diri manusia bergerak sesuai dengan Sunnatullah, termasuk manusia
itupun tidak lepas dari Sunatullah. Namun, kemerdekaan manusia berupa ikhtiar
adalah perbedaan peradaban manusia dengan makhluk lain. Tetapi tidak berarti
manusia memiliki kekuasaan tak terbatas di dunia. Batas-batas kemerdekaan
adalah suatu kenyataan yang diakibatkan oleh hukum yang ditetapkan oleh Allah
pada alam. Sehingga, hubungan manusia dengan lingkungan berupa tindakan ikhtiar
dan “keharusan universal”, bentuknya bukan penyerahan manusia kepada alam atau
“keharusan universal” tersebut. Manusia harus mengetahui adanya
kemungkinan-kemungkinan kreatif untuk berikhtiar.
Hubungan antara manusia dengan alam
menurut Nursid Sumaatmadja (2005: 73-77) setidaknya dapat ditafsirkan ke dalam
empat paham, yaitu Paham Determinisme, Paham Posibilisme, Paham Optimisme
Teknologi, dan Keyakinan Ketuhanan. Berikut penjelasan mengenai keempat paham
tersebut.
Tokoh-tokoh besar Paham Determinisme
di antaranya Charles Darwin, Friedrich Ratzel, dan Elsworth Huntington. Paham
ini mementingkan peran faktor alam sebagai penentu proses perkembangan makhluk
hidup. Hal ini berimplikasi pada pemikiran bahwa manusia memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap kondisi alam. Charles Darwin dalam
Teori Evolusi Darwin-nya yang terkenal mengemukakan bahwa struggle of life
adalah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan natural selection, dan
yang bertahan dari natural selection akan bertahan hidup. Friedrich
Ratzel dengan Teori Antropogeographie-nya mengemukakan bahwa manusia sebagai
makhluk yang dinamis, tetapi mobilitasnya dibatasi dan ditentukan oleh kondisi
alam. Sedangkan Elsworth Huntington berpendapat bahwa perbedaan perkembangan
umat manusia di tiap daerah adalah pengaruh dari variasi iklim. Pendapat
Huntington ini disebut Determinisme Iklim. Ketiga pendapat tersebut jelas
mengarah pada pentingnya peranan alam terhadap perkembangan manusia.
Berbeda dengan Paham Determinisme,
Paham Posibilisme atau juga disebut Paham Probabilisme mengemukakan bahwa
kondisi alam tidak menjadi faktor yang menentukan, melainkan menjadi faktor
pengontrol yang memberikan peluang yang mempengaruhi perkembangan manusia. Ini
dikemukakan oleh E. C. Semple yang semula menganut Paham Determinisme. Paul
Vidal de la Blache mengemukakan bahwa faktor yang menentukan itu bukan alam,
melainkan proses produksi yang dipilih manusia berdasarkan
kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam. Sementara itu, kondisi alam hanya
berlaku pada tanaman yang sepenuhnya patuh pada kondisi alam.
Paham Optimisme Teknologi muncul
sebagai reaksi terhadap Paham Posibilisme. Kemampuan manusia yang didasari
Paham Posibilisme untuk berkembang tanpa ditentukan oleh alam memberikan
peluang terhadap teknologi sebagai bagian dari budaya manusia untuk menjadi
“penjamin” terpenuhinya kebutuhan manusia.
Meskipun Paham Optimisme Teknologi
ini terbukti dengan pesatnya teknologi hingga berimbas pada kesejahteraan manusia—meskipun
terjadi juga ketidak adilan—dipandang sebagai bukti Paham Optimisme Teknologi,
tetapi Paham Keyakinan Ketuhanan membatasi “kekuasaan” manusia terhadap
lingkungan. Mulai dari teknologi rumahan seperti pisau, lemari pendingin,
hingga pesawat-pesawat yang efisien dan kapal ruang angkasa, semuanya memiliki
kekurangan. Maka, tidak ada alasan untuk manusia mengagungkan IPTEK dan
melupakan kekuasaan Tuhan. Peristiwa terbesar hingga saat ini yaitu meledaknya
reaktor nuklir yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet meskipun sudah dirancang
dengan teliti dan akurat oleh komputer yang canggih. Hal ini mengungkapkan
keterbatasan kemampuan teknologi manusia. Jadi, manusia menurut Paham Keyakinan
Ketuhanan hanya diserahi tanggung jawab untuk mengatur alam, tetapi semua yang
ada di alam ini tetap milik Tuhan. Pendapat ini sejalan dengan NDP HMI bagian
Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. Sebagaimana firman Allah dalam QS Fathir
[35] ayat 39:
Artinya:
Dia-lah yang menjadikan kamu
khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka
(Depag RI, 1989: 702).
- C. Manusia sebagai Khalifah dan Sasaran Pembangunan
Manusia dalam alam menempati posisi
unggul. Tuhan telah memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada manusia untuk
menjadi khalifah di bumi. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 30:
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”
(Depag RI, 1989: 13)
M. Quraish Shihab (1995: 295)
menjelaskan bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi itu bukan seperti
hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, tuan dengan hambanya, tetapi
kebersamaan dan ketundukan kepada Allah. Interaksi ini harus berjalan secara
selaras sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah. Keharmonisan inilah yang menjadi
tujuan segala etika agama. Ini sesuai dengan firman Allah:
QS Al-Ra’d [13] ayat 15:
Artinya:
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh)
segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun
terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari
(Depag RI, 1989: 371).
QS Fushshilat [41] ayat 11
Artinya:
Kemudian Dia menuju ke penciptaan
langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”
(Depag RI, 1989: 774).
Al-Jatsiyah [45] ayat 13
Artinya:
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berfikir
(Depag RI, 1989: 816)
Pembangunan pada dasarnya
dilaksanakan untuk memberikan jalan keluar bagi problema-problema yang dihadapi
manusia. Sifat manusia yang dinamis yang menimbulkan problema-problema
tersebut, tetapi perubahan adalah suatu Sunatullah. Problema tersebut bisa
muncul dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, hukum, politik,
dan aspek lain yang berhubungan dengan aktivitas manusia, terutama manusia
dalam sebuah negara.
Pembangunan secara umum erat
kaitannya dengan pendidikan, industri, dan ekonomi. Kaitannya bahwa
perkembangan pendidikan dan teknologi berdampak pada perkembangan industri dan
merupakan syarat mutlak terhadap pertumbuhan ekonomi. Semua segi kehidupan
manusia ini ditata secara terencana, dan inilah yang disebut sebagai
pembangunan.
Tujuan pembangunan nasional dalam
Moh. Soerjani et al. (Eds) (2008: 252):
…untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka berdaulat, bersatu
dan berkedaulatan rakyat, dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tentram, tertib dan dinamik, serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang
merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Ini berarti bahwa sasaran utama
pembangunan adalah manusia itu sendiri sebagai individu, sebagai warga negara,
dan sebagai bagian dari masyarakat dunia. Dari sini diketahui bahwa fokus utama
pembangunan adalah manusia. Pembangunan Indonesia pun dalam rencananya
memperhatikan kelestarian, meskipun dampak negatif dari pembangunan terhadap
lingkungan tidak semua bisa dicegah.
- D. Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 805) kata otonomi
berarti “Pemerintahan sendiri”, sementara otonomi daerah adalah “Hak,
wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sudah sejak
lama otonomi daerah menjadi tema pembangunan nasional Indonesia. Pelaksanaan
otonomi daerah memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, karena UUD 1945
hasil amandemen pun sudah mengisyaratkan untuk diadakannya pemerintahan daerah
beserta segala pembagian hak, wewenang, dan kewajibannya yang diatur oleh
undang-undang. UUD 1945 pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bentuk negara kesatuan
dan pasal 18 mengenai pemerintahan daerah sudah cukup menjadi alasan
diadakannya pemerintahan daerah. Meskipun kuat secara yuridis, pelaksanaan
otonomi daerah ini masih menjadi perdebatan berbagai pihak (Yudoyono, 2003: 1).
Berawal dari ditetapkannya UU No.
1/1945 mengenai adanya pemerintahan daerah dan pembentukan Badan Perwakilan
Rakyat Daerah. Ditetapkan ada tiga jenis daerah otonom, yaitu Karesidenan,
Kabupaten, dan Kota. Setelah itu, diganti dengan UU No. 22/1948 yang berisi
susunan pemerintahan daerah, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota Besar, dan
Desa/Kota Kecil. Disusul dengan UU No. 1/1957 yang susunan pemerintahan
daerahnya dibagi menjadi Daerah Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Lalu UU No. 18/1965, UU No. 6/1969,
UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004 (Yudoyono, 2003: 23-27;
Sobandi, et al., 2006: 5).
Desentralisasi menurut UU No.
22/1999 yang diperbaharui oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah “…penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka negara kesatuan, …” (Sobandi, et al., 2006: 5).
Secara filosofis, pelaksanaan desentralisasi ini dikarenakan adanya realitas
“keanekaragaman dalam kesatuan”, demokratisasi, pemerataan, keadilan, daya
saing global, dan masyarakat sebagai sasaran fokus kesejahteraan. Lalu, sebesar
apa penyerahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom tersebut? Jawabannya
tidak bisa dinyatakan dalam angka persentase, melainkan melalui suatu fase
pengkajian dan pemahaman terhadap otonomi daerah menurut UUD 1945 dan undang-undang
yang melandasinya, termasuk ranah peraturan pelaksanaannya.
Manfaat desentralisasi adalah: 1)
efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan; 2) memungkinkan
melakukan inovasi; 3) meningkatkan motivasi moral, komitmen, dan produktivitas
(Yudoyono, 2003: 23). Manfaat-manfaat ini tentunya memerlukan perencanaan
strategi yang matang, serius, berkesinambungan, dan konsisten. Kajian dan
evaluasi secara terus-menerus harus dilakukan secara konstruktif untuk mendapat
manfaat dari desentralisasi tersebut. Salah satu evaluasinya adalah mengenai
kajian masalah lingkungan yang diakibatkan oleh otonomi daerah. Hal ini akan
dibahas lebih lanjut pada sub bab G.
Dengan adanya otonomi daerah,
pembangunan dapat dilaksanakan oleh masing-masing daerah otonom dengan komitmen
untuk menjaga kepercayaan (amanah) dari pemerintah pusat. Hal ini lebih
memungkinkan terjadinya pemerataan pembangunan sehingga kesejahteraan
masyarakat dan keadilan dapat terpenuhi. Dampak pembangunan pun akan terasa
oleh setiap daerah otonom, baik positif maupun negatif.
No comments:
Post a Comment