Friday, January 11, 2013

tugas 107-desentralisasi



desentralisasi pembangunan
Alam hingga saat ini menjadi sumber pemenuh kebutuhan manusia. Implikasinya, manusia memiliki hubungan keterkaitan dengan alam. Manusia dengan pertumbuhan yang pesat tentu berdampak pada interaksinya dengan alam. Hal ini berdampak pada kondisi alam dan kehidupan manusia dalam membangun peradabannya. Kebutuhan manusia terus-menerus meningkat, sementara karakteristik alam yang serba terbatas menjadi permasalahan klasik sejak peradaban manusia dahulu hingga sekarang.
Otonomi daerah dan desentralisasi hingga sekarang menjadi perbincangan yang tidak pernah hilang relevansinya dengan pembangunan. Kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah sejak kemerdekaan hingga era reformasi terus mengalami perubahan dan berdampak pada semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan. Salah satu segi dari desentralisasi tersebut adalah pembangunan daerah. Sementara itu, pembangunan dilaksanakan dengan kurang memperhatikan karakteristik lingkungan dan ekologi yang berdampak pada terancamnya kelangsungan pembangunan, sekaligus kelangsungan hidup umat manusia itu sendiri. Untuk sekarang, kita dapat menikmati sebagian besar sumber daya alam, tetapi untuk masa depan kita dan generasi selanjutnya menjadi pertanyaan.
Sementara itu, Islam sebagai ajaran yang universal dan menyeluruh memiliki prinsip-prinsip etika lingkungan yang tentunya perlu dikaji dan diterapkan untuk menanggulangi masalah akibat pembangunan daerah. Diharapkan dengan penerapan etika lingkungan tersebut dapat mengurangi dampak negatif akibat pembangunan daerah. Oleh karena itu, saya mengkaji permasalahan di atas dan membuat makalah “Desentralisasi Pembangunan dan Dampaknya terhadap Kelestarian Lingkungan”. Kata ekologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 286) adalah “Ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya)”.  Ekologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan logos yang berarti ilmu. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Ernest Haeckel pada tahun 1869. Ilmu ini masih relatif baru karena baru muncul pada tahun 1970-an. Ekologi hingga tahun 1970-an dianggap sebagai cabang biologi yang memiliki pengaruh terhadap cabang biologi yang lainnya (Syamsuri et al., 2004: 93; Pratomo & Barlia, 2006: 13).
Sebenarnya, sejak dahulu sudah muncul konsep-konsep ekologi dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti Aristoteles, Hipokrates, dan lainnya. Pada awal tahun 1700, Anton van Leeuwenhoek menemukan gejala rantai makanan sebagai faktor yang mempengaruhi populasi dan strategi hidup yang menjadi fenomena penting dalam ekologi. Saat itu istilah ekologi belum dikenal, hingga Ernest Haeckel mengemukakan istilah tersebut. Ekologi dinyatakan sebagai ilmu yang berdiri sendiri keluar dari biologi sejak 1970-an karena kajiannya yang interdisipliner, meskipun ekologi memang berhubungan erat dengan biologi (Pratomo & Barlia, 2006: 13). Namun, kajiannya kini lebih luas ke berbagai proses hayati dan fisik yang tidak hanya berhubungan dengan biologi, tetapi juga fisika, geografi, kimia, dan lain-lain.
Dalam Moh. Soerjani et al. (Eds) (2008: 2) dijelaskan bahwa:
Pada dasarnya ekologi adalah ilmu dasar untuk mempertanyakan, menyelidiki, dan memahami bagaimana alam bekerja; bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam sistem kehidupannya; apa yang mereka perlukan dari habitatnya untuk dapat melangsungkan kehidupan; bagaimana mereka mencukupi kebutuhannya; bagaimana dengan semua itu mereka berinteraksi dengan komponen lain dan dengan spesies lain; bagaimana individu-individu dalam spesies itu beradaptasi; bagaimana makhluk hidup itu menghadapi keterbatasan dan harus toleran terhadap berbagai perubahan; bagaimana individu-individu dalam spesies itu mengalami pertumbuhan sebagai bagian dari suatu proses yang mengikuti tatanan, prinsip, dan ketentuan alam yang rumit, tetapi cukup teratur…
Ekologi mempelajari tentang: a) perpindahan materi dan energi dari satu makhluk hidup ke makhluk hidup yang lain; b) perubahan populasi spesies; c) interaksi antarspesies dan makhluk hidup dengan lingkungan. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungan tidak terbatas pada satu arah, melainkan lebih bersifat hubungan timbal-balik.
Kaitannya dengan perpindahan materi dan energi, dibahas dalam ekologi tentang rantai makanan. Hal ini bisa dipahami dengan rantai makanan yang secara klasik pernah disampaikan di sekolah dasar, misalnya matahari memberikan energi pada tumbuhan hijau, kemudian tumbuhan dimakan kelinci, kelinci dimakan ular, ular dimakan elang, lalu elang mati dan jasadnya diuraikan oleh bakteri untuk menjadi energi bagi tumbuhan. Namun, dalam aliran energi ini terjadi pemborosan karena hanya 10% energi yang dapat diperoleh pada makhluk hidup dari makhluk hidup lain. Sisanya dipancarkan kembali ke lingkungan dalam bentuk panas dan tidak digunakan lagi (Syamsuri et al., 2004: 129). Rantai makanan ini kemudian berkembang dan saling berinteraksi dengan rantai makanan lain menjadi jaring-jaring makanan, karena jika digambarkan akan membentuk suatu bentuk jaringan (Syamsuri et al., 2004: 130).
Lingkungan adalah “…segala apa saja (benda, kondisi, situasi) yang ada di sekeliling makhluk hidup, yang berpengaruh terhadap kehidupan makhluk hidup yang bersangkutan…” (Sumaatmadja, 2003: 80). Lingkungan memiliki komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik terdiri atas tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroorganisme. Komponen abiotik terdiri atas air, udara (oksigen, nitrogen, karbondioksida, dan lain-lain), kelembaban, tanah, mineral, cahaya, suhu, salinitas, dan topografi. Kedua komponen ini mengalami interaksi. Interaksi yang terjadi antar-individu sejenis disebut populasi. Interaksi antar-populasi membentuk komunitas. Interaksi komunitas dengan lingkungan abiotik memunculkan suatu sistem yang disebut ekosistem. Interaksi tersebut dapat berbentuk: a) simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan; b) simbiosis parasitisme, merugikan salah satu pihak; c) simbiosis komensalisme, menguntungkan satu pihak dan tidak berpengaruh pada pihak lain; d) predatorisme, hubungan saling memangsa; e) netralisme, hubungan yang tidak saling mempengaruhi; f) kompetisi, perebutan suatu sumber makanan oleh berbagai organisme. Ekosistem-ekosistem berinteraksi menjadi satu kesatuan yang disebut biosfer atau ekosfer (Syamsuri et al., 2004: 93-107).
  1. 2.      Daya Dukung Alam, Homeostatis, dan Kelentingan
Wisnu Arya Wardhana (2004: 5) mengemukakan: “Daya dukung alam diartikan sebagai kemampuan alam untuk mendukung kehidupan manusia”. Daya dukung alam meliputi segala kekayaan alam, baik di permukaan maupun dalam perut bumi serta kondisi yang mendukung kehidupan. Namun, daya dukung alam pun dapat dipahami sebagai kemampuan alam untuk mendukung organisme lain. Misalnya, dahulu daya dukung alam cocok untuk reptil-reptil raksasa seperti dinosaurus, tetapi daya dukung alam tersebut memudar sehingga kelangsungan hidup dinosaurus pun berakhir. Oleh karena itu, daya dukung alam pun penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Daya dukung alam muncul sebagai salah satu faktor penentu kelangsungan hidup organisme dalam interaksinya dengan lingkungan. Misalnya lingkungan dengan kekayaan alam yang melimpah mendukung manusia untuk mengembangkan kelangsungan hidup dan kesejahteraannya, berbeda dengan lingkungan dengan sumber daya alam yang terbatas yang mengharuskan manusia untuk berusaha lebih keras untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
Berbeda dengan makhluk hidup lain, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan daya dukung alam untuknya sendiri. Hal ini disebabkan oleh kemampuan manusia menguasai teknologi. Teknologi ini yang merekayasa daya dukung alam agar sesuai dengan keinginan manusia, sehingga nampak dominasi manusia terhadap lingkungan. Seperti yang dikemukakan oleh Nursid Sumaatmadja (2005: 93) bahwa: “…umat manusia ini dapat dikatakan paling dominan terhadap lingkungannya bila dibandingkan dengan makhluk hidup yang lain”. Namun, tidak serta merta manusia dapat mengatur lingkungan sesuai dengan semua kehendak manusia. Alam dengan segala keterbatasan dan teknologi yang juga terbatas suatu saat akan mencapai batas daya dukung yang maksimum. Seperti yang dikemukakan dalam Moh. Soerjani et al. (Eds) (2008: 9) bahwa:
Memang benar bahwa dengan menggunakan teknologi dalam proses industrialisasi baik industri primer (pertambangan dan pertanian), industri sekunder (manufaktur dan konstruksi) serta industri tersier (jasa dan komunikasi) daya dukung dapat dinaikkan. Tetapi perlu diingat bahwa dengan teknologi yang canggih seperti apapun, daya dukung itu pada suatu tingkat akan mencapai batas maksimum.
Aktivitas manusia jelas mempengaruhi kelestarian lingkungan, dampaknya bisa positif maupun negatif. Komponen lingkungan memiliki kemampuan untuk mengatur dan memulihkan dirinya kembali apabila terjadi gangguan. Setiap komponen akan bergerak untuk menuju keseimbangan. Proses ini disebut homeostatis.
Homeostatis adalah salah satu prinsip hukum alam yang berlangsung di berbagai komponen dalam sistem interaksi makhluk hidup dengan lingkungan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu homeo atas homo yang berarti sama dan statis yang berarti kedudukan (Wardhana, 2004: 24). Komponen yang berinteraksi tersebut ada yang menyesuaikan diri, bekerja sama, saling serang, melindungi diri, berdiam diri, dan ada yang berusaha menguasai yang lain. Tetapi, kekuatan-kekuatan komponen itu bergerak menuju suatu kondisi yang selaras. Kondisi ini dikatakan sebagai usaha alam untuk mencapai keseimbangan.
Homeostatis secara alami dapat dicapai dengan sendirinya, tetapi memakan waktu yang lama. Manusia dengan kemampuannya mendominasi lingkungan dapat mempercepat atau memperlambat proses homeostatis ini.
Kelentingan (resilience) adalah suatu sistem yang akan memberikan tanggapan/reaksi terhadap suatu gangguan, disengaja maupun tidak. Kelentingan atau kelenturan lebih bersifat adaptif daripada melawan perubahan (Soerjani et al. (Eds), 2008: 245).
  1. B.    Hubungan Manusia dengan Lingkungan
Sejarah mengungkapkan bahwa manusia adalah spesies makhluk hidup termuda yang hidup di bumi. Dalam statusnya sebagai makhluk hidup, manusia tidak dapat menghindar dari interaksi dengan lingkungan sebagai salah satu bentuk usaha manusia memenuhi kebutuhannya. Namun berbeda dengan makhluk hidup lainnya, manusia memiliki keunggulan berupa akal pikiran dan teknologi yang berkembang dan dapat dikembangkan. Dominasi manusia terhadap lingkungan pun terjadi karena faktor-faktor tersebut. Meskipun demikian, manusia tidak dapat menyatakan diri sebagai penguasa alam, karena manusia itu sendiri bagian dari alam.
Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI pun menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan lingkungan. Lingkungan adalah hal di luar diri manusia bergerak sesuai dengan Sunnatullah, termasuk manusia itupun tidak lepas dari Sunatullah. Namun, kemerdekaan manusia berupa ikhtiar adalah perbedaan peradaban manusia dengan makhluk lain. Tetapi tidak berarti manusia memiliki kekuasaan tak terbatas di dunia. Batas-batas kemerdekaan adalah suatu kenyataan yang diakibatkan oleh hukum yang ditetapkan oleh Allah pada alam. Sehingga, hubungan manusia dengan lingkungan berupa tindakan ikhtiar dan “keharusan universal”, bentuknya bukan penyerahan manusia kepada alam atau “keharusan universal” tersebut. Manusia harus mengetahui adanya kemungkinan-kemungkinan kreatif untuk berikhtiar.
Hubungan antara manusia dengan alam menurut Nursid Sumaatmadja (2005: 73-77) setidaknya dapat ditafsirkan ke dalam empat paham, yaitu Paham Determinisme, Paham Posibilisme, Paham Optimisme Teknologi, dan Keyakinan Ketuhanan. Berikut penjelasan mengenai keempat paham tersebut.
Tokoh-tokoh besar Paham Determinisme di antaranya Charles Darwin, Friedrich Ratzel, dan Elsworth Huntington. Paham ini mementingkan peran faktor alam sebagai penentu proses perkembangan makhluk hidup. Hal ini berimplikasi pada pemikiran bahwa manusia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap kondisi alam. Charles Darwin dalam Teori Evolusi Darwin-nya yang terkenal mengemukakan bahwa struggle of life adalah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan natural selection, dan yang bertahan dari natural selection akan bertahan hidup. Friedrich Ratzel dengan Teori Antropogeographie-nya mengemukakan bahwa manusia sebagai makhluk yang dinamis, tetapi mobilitasnya dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam. Sedangkan Elsworth Huntington berpendapat bahwa perbedaan perkembangan umat manusia di tiap daerah adalah pengaruh dari variasi iklim. Pendapat Huntington ini disebut Determinisme Iklim. Ketiga pendapat tersebut jelas mengarah pada pentingnya peranan alam terhadap perkembangan manusia.
Berbeda dengan Paham Determinisme, Paham Posibilisme  atau juga disebut Paham Probabilisme mengemukakan bahwa kondisi alam tidak menjadi faktor yang menentukan, melainkan menjadi faktor pengontrol yang memberikan peluang yang mempengaruhi perkembangan manusia. Ini dikemukakan oleh E. C. Semple yang semula menganut Paham Determinisme. Paul Vidal de la Blache mengemukakan bahwa faktor yang menentukan itu bukan alam, melainkan proses produksi yang dipilih manusia berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di alam. Sementara itu, kondisi alam hanya berlaku pada tanaman yang sepenuhnya patuh pada kondisi alam.
Paham Optimisme Teknologi muncul sebagai reaksi terhadap Paham Posibilisme. Kemampuan manusia yang didasari Paham Posibilisme untuk berkembang tanpa ditentukan oleh alam memberikan peluang terhadap teknologi sebagai bagian dari budaya manusia untuk menjadi “penjamin” terpenuhinya kebutuhan manusia.
Meskipun Paham Optimisme Teknologi ini terbukti dengan pesatnya teknologi hingga berimbas pada kesejahteraan manusia—meskipun terjadi juga ketidak adilan—dipandang sebagai bukti Paham Optimisme Teknologi, tetapi Paham Keyakinan Ketuhanan  membatasi “kekuasaan” manusia terhadap lingkungan. Mulai dari teknologi rumahan seperti pisau, lemari pendingin, hingga pesawat-pesawat yang efisien dan kapal ruang angkasa, semuanya memiliki kekurangan. Maka, tidak ada alasan untuk manusia mengagungkan IPTEK dan melupakan kekuasaan Tuhan. Peristiwa terbesar hingga saat ini yaitu meledaknya reaktor nuklir yang terjadi di Chernobyl, Uni Sovyet meskipun sudah dirancang dengan teliti dan akurat oleh komputer yang canggih. Hal ini mengungkapkan keterbatasan kemampuan teknologi manusia. Jadi, manusia menurut Paham Keyakinan Ketuhanan hanya diserahi tanggung jawab untuk mengatur alam, tetapi semua yang ada di alam ini tetap milik Tuhan. Pendapat ini sejalan dengan NDP HMI bagian Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi. Sebagaimana firman Allah dalam QS Fathir [35] ayat 39:
Artinya:
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka (Depag RI, 1989: 702).
  1. C.    Manusia sebagai Khalifah dan Sasaran Pembangunan
Manusia dalam alam menempati posisi unggul. Tuhan telah memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada manusia untuk menjadi khalifah di bumi. Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 30:
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Depag RI, 1989: 13)
M. Quraish Shihab (1995: 295) menjelaskan bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi itu bukan seperti hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan, tuan dengan hambanya, tetapi kebersamaan dan ketundukan kepada Allah. Interaksi ini harus berjalan secara selaras sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah. Keharmonisan inilah yang menjadi tujuan segala etika agama. Ini sesuai dengan firman Allah:
QS Al-Ra’d [13] ayat 15:
Artinya:
Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari
(Depag RI, 1989: 371).
QS Fushshilat [41] ayat 11
Artinya:
Kemudian Dia menuju ke penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”
(Depag RI, 1989: 774).
Al-Jatsiyah [45] ayat 13
Artinya:
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir
(Depag RI, 1989: 816)
Pembangunan pada dasarnya dilaksanakan untuk memberikan jalan keluar bagi problema-problema yang dihadapi manusia. Sifat manusia yang dinamis yang menimbulkan problema-problema tersebut, tetapi perubahan adalah suatu Sunatullah. Problema tersebut bisa muncul dalam aspek ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, hukum, politik, dan aspek lain yang berhubungan dengan aktivitas manusia, terutama manusia dalam sebuah negara.
Pembangunan secara umum erat kaitannya dengan pendidikan, industri, dan ekonomi. Kaitannya bahwa perkembangan pendidikan dan teknologi berdampak pada perkembangan industri dan merupakan syarat mutlak terhadap pertumbuhan ekonomi. Semua segi kehidupan manusia ini ditata secara terencana, dan inilah yang disebut sebagai pembangunan.
Tujuan pembangunan nasional dalam Moh. Soerjani et al. (Eds) (2008: 252):
…untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat, dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamik, serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Ini berarti bahwa sasaran utama pembangunan adalah manusia itu sendiri sebagai individu, sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari masyarakat dunia. Dari sini diketahui bahwa fokus utama pembangunan adalah manusia. Pembangunan Indonesia pun dalam rencananya memperhatikan kelestarian, meskipun dampak negatif dari pembangunan terhadap lingkungan tidak semua bisa dicegah.
  1. D.    Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002: 805) kata otonomi berarti “Pemerintahan sendiri”, sementara otonomi daerah adalah “Hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sudah sejak lama otonomi daerah menjadi tema pembangunan nasional Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, karena UUD 1945 hasil amandemen pun sudah mengisyaratkan untuk diadakannya pemerintahan daerah beserta segala pembagian hak, wewenang, dan kewajibannya yang diatur oleh undang-undang. UUD 1945 pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bentuk negara kesatuan dan pasal 18 mengenai pemerintahan daerah sudah cukup menjadi alasan diadakannya pemerintahan daerah. Meskipun kuat secara yuridis, pelaksanaan otonomi daerah ini masih menjadi perdebatan berbagai pihak (Yudoyono, 2003: 1).
Berawal dari ditetapkannya UU No. 1/1945 mengenai adanya pemerintahan daerah dan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Ditetapkan ada tiga jenis daerah otonom, yaitu Karesidenan, Kabupaten, dan Kota. Setelah itu, diganti dengan UU No. 22/1948 yang berisi susunan pemerintahan daerah, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota Besar, dan Desa/Kota Kecil. Disusul dengan UU No. 1/1957 yang susunan pemerintahan daerahnya dibagi menjadi Daerah Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Lalu UU No. 18/1965, UU No. 6/1969, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 32/2004 (Yudoyono, 2003: 23-27; Sobandi, et al., 2006: 5).
Desentralisasi menurut UU No. 22/1999 yang diperbaharui oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah “…penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan, …” (Sobandi, et al., 2006: 5). Secara filosofis, pelaksanaan desentralisasi ini dikarenakan adanya realitas “keanekaragaman dalam kesatuan”, demokratisasi, pemerataan, keadilan, daya saing global, dan masyarakat sebagai sasaran fokus kesejahteraan. Lalu, sebesar apa penyerahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom tersebut? Jawabannya tidak bisa dinyatakan dalam angka persentase, melainkan melalui suatu fase pengkajian dan pemahaman terhadap otonomi daerah menurut UUD 1945 dan undang-undang yang melandasinya, termasuk ranah peraturan pelaksanaannya.
Manfaat desentralisasi adalah: 1) efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas pemerintahan; 2) memungkinkan melakukan inovasi; 3) meningkatkan motivasi moral, komitmen, dan produktivitas (Yudoyono, 2003: 23). Manfaat-manfaat ini tentunya memerlukan perencanaan strategi yang matang, serius, berkesinambungan, dan konsisten. Kajian dan evaluasi secara terus-menerus harus dilakukan secara konstruktif untuk mendapat manfaat dari desentralisasi tersebut. Salah satu evaluasinya adalah mengenai kajian masalah lingkungan yang diakibatkan oleh otonomi daerah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada sub bab G.
Dengan adanya otonomi daerah, pembangunan dapat dilaksanakan oleh masing-masing daerah otonom dengan komitmen untuk menjaga kepercayaan (amanah) dari pemerintah pusat. Hal ini lebih memungkinkan terjadinya pemerataan pembangunan sehingga kesejahteraan masyarakat dan keadilan dapat terpenuhi. Dampak pembangunan pun akan terasa oleh setiap daerah otonom, baik positif maupun negatif.

No comments:

Post a Comment