KASUS DISKRIMINASI DI POSO
Sejak Desember tahun 1998, delapan tahun lebih, Poso, sebuah Kabupaten di Sulawesi Tengah, terus dirundung malang. Kendati Pemerintah sering menganggap masalah Poso telah selesai, tidak ada yang tahu kapan tragedi kemanusiaan ini akan berakhir. Berbagai kerusuhan dan teror silih berganti tak kunjung berhenti. Motifnya beragam; mulai dari yang sederhana seperti pemuda mabuk, mutilasi anak-anak dan remaja, konflik keagamaan Islam-Kristen, isu tentang korupsi dana pengungsi Poso oleh para pejabat sampai motif politis. Terlalu gegabah kalau kita langsung menyimpulkan bahwa rangkaian motif tersebut sebagai akar masalahnya. Namun, yang jelas, korban dari rakyat sudah tidak bisa dihitung. Ribuan penduduk meninggal, ratusan lainnya cedera, ribuan rumah dan bangunan terbakar, puluhan ribu orang berulang-ulang menjadi pengungsi. Sementara itu, pihak-pihak yang mengail di air keruh sampai detik ini belum belum juga terungkap. Akar masalah pun semakin rumit dan sulit diurai ketika pihak-pihak asing ditengarai juga ikut terlibat. Sayang, Pemerintah kini menekankan bahwa yang terjadi di Poso adalah masalah terorisme. Hal ini patut dipertanyakan.
Poso seakan terus bergolak. Puncaknya terjadi pada 22 Januari 2007. Saat itu terjadi bentrokan antara pasukan Densus 88 dan warga. Penyerbuan yang awalnya ditujukan untuk menggerebek tersangka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) itu kemudian berakhir dengan bentrokan. Persoalannya adalah mengapa warga Poso seakan melakukan perlawanan? Pihak Pemerintah mengklaim bahwa ada intimidasi dari DPO terhadap masyarakat. Namun, apakah benar DPO yang hanya 24 orang tersebut memiliki kekuatan demikian besar hingga masyarakat bungkam seribu bahasa? Rasanya, sulit diterima akal. Pasti ada hal lain yang sangat mendasar yang menyebabkan sikap tersebut muncul.
Realitas menunjukkan bahwa akar dari munculnya sikap tersebut adalah ketidakadilan. Pertama: yang ditetapkan menjadi DPO sebagai pihak yang dituduh menjadi biang kerusuhan Poso hanyalah orang-orang Islam. Sebaliknya, 16 nama Kristen yang disebut terpidana mati Tibo jauh sebelum dia dieksekusi tidak dijadikan DPO. Jadi, permasalahan Poso hanya ditimpakan kepada orang Islam. Padahal boleh jadi mereka yang disebut DPO tersebut dipandang oleh masyarakat Poso sebagai pihak yang banyak melakukan pembelaan saat pihak Muslim diserang selama kasus Poso berlangsung.
Kedua: penegakkan hukum hanya diterapkan kepada para DPO. Hal ini terungkap pada tanggal 19 Januari 2007 saat dialog antara DPO dan pihak kepolisian. Dalam dialog tersebut DPO mau menyerahkan diri asalkan pihak kepolisian mengusut tuntas 16 orang yang diindikasikan sebagai kunci kerusuhan dari kalangan non-Muslim, jika perlu, juga dijadikan DPO. Namun, masyarakat memandang, seperti diungkapkan Ust. Jamil (Pengasuh Pesantren Amanah Poso), yang terjadi diskriminasi. Makanya, apa yang terjadi pada 22/1/2007 harus dibaca sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang selama ini dialami warga.
Ketiga: terlihat jelas bahwa kasus yang diungkap sekarang semuanya adalah pasca Perjanjian Malino. Sebaliknya, apa yang terjadi sebelumnya tidak digubris sama sekali. Padahal masyarakat di sana paham, bahwa pelaku pembantaian sebelum Malino banyak non-Muslim.
Keempat: butir-butir Perjanjian Malino tidak diterapkan dengan benar oleh Pemerintah. Butir kedua perjanjian tersebut menyatakan: Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar. Ketika yang dirasakan masyarakat justru diskriminasi, maka butir ini dilanggar. Begitu juga, sikap tidak adil kepolisian yang dirasakan rakyat Muslim Poso menyalahi butir ‘Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan’. Butir perjanjian ‘Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemilik yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung’ tidak berjalan.
Kelima: Tampak adanya arogansi dan kekerasan dalam melakukan tindakan. Dengan dalih penggerebekkan DPO, yang menjadi korban banyak dari kalangan sipil tak bersalah. Ketegangan bertambah justru pada saat terjadi operasi tersebut. Situasi kejiwaan Muslim Poso yang sedang merasa diperlakukan diskriminatif dan tidak adil, ditambah dengan tindakan yang membabi buta, hanya akan menambah luka mereka.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tampaklah bahwa ketidakadilan sedang berjalan di Poso. Siapapun yang merasa diperlakukan tidak adil secara manusiawi akan melakukan perlawanan. Karenanya, pendekatan kekerasan bukanlah solusi yang dapat menyelesaikan persoalan.
Isu Terorisme dan Asing
Perasaan ketidakadilan pun bertambah. Pemerintah kemudian mengarahkan ekskalasi kerusuhan pada isu terorisme. Sejak lama isu ini dihembuskan. “Apa yang terjadi di Poso bukan konflik, tapi teror. Karena itu, para pelaku teror harus ditangkap. Kalau perlu diberlakukan Undang-Undang Antiterorisme. Para pelaku teror harus ditangkap dulu,” kata Yusuf Kalla, Kamis (26/10/2006).
Pernyataan senada juga disampaikan oleh Jendral Sutanto Kepala Polisi RI. Bahkan pasca bentrokan 22/1/2007, isu terorisme ini terus dihembus-hembuskan oleh pihak Pemerintah.
Pernyataan tersebut terlalu gegabah dan sangat mengiris hati nurani rakyat. Alih-alih bersimpati terhadap korban masyarakat, Pemerintah justru semakin menyudutkan masyarakat (Muslim). Jika genderang terorisme yang ditabuh, buntutnya yang dijerat adalah umat Islam lagi. Sebab, selama ini yang selalu dikaitkan dengan terorisme adalah Islam dan kaum Muslim. Motif ini senantiasa dianggap lumrah jika kemudian organisasi yang dituduh adalah Jamaah Islamiyah, Al-Qaidah, dan organisme sejenisnya yang berbau Islam. Nama tersangkanya pun adalah Muslim, tidak ada yang non-Muslim; termasuk nama-nama DPO, semuanya Muslim.
Tuduhan terorisme didasarkan pada alasan ditemukannya senjata pada saat penggerebekan. Kenyataan ini tidak dapat serta-merta disimpulkan sebagai terorisme. Bagaimanapun, Poso adalah daerah konflik. Apalagi sebagaimana diungkapkan oleh Arianto Sangaji, pimpinan sebuah LSM di Poso dalam acara ”Todays Dialogue” (MetroTV, 29/1/2007), bahwa berdasarkan penelitian lembaga yang dipimpinnya, senjata-senjata tersebut milik aparat. Karena itu, tuduhan terorisme dalam konflik di Poso lebih merupakan propaganda politik. Ini sungguh sangat tidak adil.
Serangkaian peristiwa kerusuhan Poso yang terjadi selama lebih dari delapan tahun, jika ditarik dengan isu terorisme, semua pelaku kerusuhan adalah umat Islam. Sebaliknya, pada waktu eksekusi Tibo, kelompok non-Muslim juga melakukan pengusiran terhadap polisi dan tindakan anarkis yang tidak bisa ditoleransi lagi. Akan tetapi, mengapa isu terorisme dan UU Antiterorisme saat itu tidak diberlakukan? Jujur saja, korban terbanyak dari tragedi berdarah ini adalah umat Islam. Mengapa kemudian yang dituduh adalah umat Islam? Logika dan alam sadar mana yang mengatakan bahwa umat Islam akan sudi melakukan pembunuhan terhadap umatnya sendiri?
Ada hal yang menarik. Sejak Ustadz Abu Bakar Baasyir dibebaskan dari tuduhan teroris, perang melawan terorisme di Indonesia kehilangan relevansinya. Padahal Bush saat kunjungan ke Bogor mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah sahabat, termasuk dalam memerangi terorisme. Merujuk pada hal ini, beberapa kejadian patut dicermati. Pertama: Presiden AS George W. Bush datang akhir November 2006 ke Indonesia. Salah satu yang dibicarakannya adalah terorisme. Kedua: menurut Tabloid Intelijen, no. 24/Th III/2007/1-14 Februari, tiga hari sebelum insiden baku tembak terjadi di Poso, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto terbang ke AS. Kadiv Humas Polri Irjen Pol. Sisno Adiwinoto menerangkan bahwa agenda Kapolri beserta rombongan adalah untuk menandatangani semacam MoU dengan FBI dan CIA. Nota kesepakatan tersebut mengenai kejahatan transnasional seperti terorisme, perdagangan manusia, dan penyelundupan senjata. Ketiga: Wawan Hari Purwanto, Direktur Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional, menyatakan bahwa pihak asing merencanakan kerusuhan di Poso dengan melakukan rapat khusus di sebuah hotel terkemuka di Jakarta. Setelah itu, mereka kabur ke Singapura. Berdasarkan indikasi ini semakin terang, bahwa war on terrorism yang disuarakan di Poso tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan asing imperialis yang tidak ingin negeri Muslim terbesar ini aman; di samping Poso merupakan daerah strategis dan kaya.
Menjadikan isu terorisme sebagai instrumen penyelesaian hakikatnya semakin menjauhkan upaya penyelesaian yang permanen dan sesungguhnya. Keadaan demikian merupakan pintu gerbang intervensi asing untuk turut campur terhadap urusan dalam negeri kita. Artinya, mengambil sikap ini akan memberikan jalan bagi asing, orang-orang kafir, menguasai kita, yang justru dilarang oleh Allah SWT:
Allah sekali-kali tidak akan pernah memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk (menguasai) kaum Muslim. (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Lagipula, pendekatan represif militeristik terbukti gagal dalam menyelesaikan masalah Poso. Alih-alih konflik selesai, pola pendekatan ini justru akan memicu jenis kekerasan baru. Korban yang menimpa masyarakat jelas mengindikasikan ketidakprofesionalan pihak kepolisian. Aparat seharusnya berfungsi sebagai pengayom, penjaga dan pelindung masyarakat, justru sebaliknya.
Wahai Kaum Muslim:
Kerusuhan lebih dari 8 tahun yang terjadi di Poso sedikit pun tidak menguntungkan kita. Kini konflik berkembang menjadi vertikal: masyarakat dengan polisi sebagai aparat pemerintah. Membunuh satu orang tak berdosa merupakan dosa besar. Di dunia gampang untuk ditutup-tutupi, tetapi di akhirat semua akan terbukti. Allah SWT berfirman:
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS al-Maidah [5]: 32).
Karena itu, Pemerintah hendaknya takut akan siksa Allah SWT:
Pada hari ini (Hari Akhir) tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. (QS al-Mu’min [40]: 17).
Lebih dari itu, yakinlah bahwa jika terjadi bentrokkan, hanya pihak ketiga yang mendapat untung, sementara umat Islam buntung!
Karena itu, kita harus bersama-sama mengurai benang kusut kerusuhan berdarah ini. Langkah yang dapat ditempuh:
(1) Kedepankan dialog, bukan kekerasan;
(2) Kumpulkan para deklarator Malino dan adakan evaluasi;
(3) Tegakkan hukum bagi semua, baik insiden sesudah Malino maupun sebelumnya;
(4) Hentikan kekerasan oleh semua pihak, tarik BKO dan densus 88 dari Poso.
Namun, persoalan ini adalah persoalan politik. Ini bergantung pada kemauan politik pemerintah.
Sumber:
https://hayatulislam.wordpress.com/2007/01/31/ketidakadilan-di-poso/